Pendekatan Hukum Perdata Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Komersial Internasional Berbahasa Asing

Dwi Hananta (Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Kelas I A Khusus, Kandidat Ph.D. pada Sourthwest University of Political Science and Law)

Pembentukan zona perdagangan bebas terus bertambah, hubungan perdagangan lintas negara semakin terbuka, mendorong peningkatan hubungan hukum transnasional secara signifikan. Untuk menjembatani kepentingan para pihak, agar ada kesepahaman tentang substansi yang diperjanjikan, maka hubungan hukum yang diikat dengan perjanjian dalam konteks lintas batas ditulis dalam teks bahasa yang disepakati.

Di lain sisi, terdapat kepentingan nasional yang juga perlu mendapat perlindungan, bahasa nasional adalah salah satunya. Bagi sebuah bangsa, bahasa bukan hanya sekedar sarana berkomunikasi dan berinteraksi, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Undang-Undang RI Nomor 24

Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU No. 24/2009), bahwa bahasa bersama dengan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan  dan kehormatan  negara.  Bahasa  juga  merupakan  manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara.

Selamat dan Sukses kepada Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, MH

pelantikan Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, MH sebagai ketua Mahkamah Agung
pelantikan Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, MH sebagai ketua Mahkamah Agung

Keluarga besar Pengadilan Negeri Wonosari mengucapkan selamat dan sukses atas terpilihnya  kembali Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH, MH sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

PENTINGNYA PENGUATAN FUNGSI HUMAS PADA INSTITUSI PERADILAN

Oleh: D.Y. Witanto
(Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA)

Pengantar
Serentetan kejadian operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK yang melibatkan segelintir oknum pejabat peradilan, seakan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan publik. Segudang prestasi yang dicapai Mahkamah Agung seperti tiga kali mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK, penghargaan dalam penyusunan laporan keuangan dengan capaian tertinggi, peringkat ke 5 dari 87 Kementrian/Lembaga dalam realisasi anggaran dengan indikator kinerja terbaik serta banyak capaian prestasi lainnya seakan tidak ada artinya ketika tersiar kabar seorang hakim atau panitera pengadilan terlibat kasus jual beli perkara, hal ini menunjukan bahwa espektasi masyarakat jauh lebih besar kepada persoalan integritas aparatur ketimbang pada pengelolaan administrasi.

Berdasarkan data Mahkamah Agung, jumlah aparatur pengadilan (hakim dan non hakim) yang dijatuhi sanksi selama tahun 2015 sebanyak 265 orang, jika dibandingkan dengan keseluruhan personil pengadilan yang jumlahnya sekitar 33.000 orang di seluruh Indonesia, (meski tidak boleh dibilang kecil), secara prosentase hanya 0,8%, namun karena ekspose media begitu gencar dan melibatkan perkara-perkara yang menarik perhatian, maka dampaknya cukup besar terhadap reputasi Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dimata publik. Apapun alasannya kepercayaan publik harus dibangun kembali, tugas bagi seorang public relation (humas) untuk bisa memulihkan keadaan dan membangun kembali citra baik melalui langkah-langkah yang tepat dan terencana, karena tidak mungkin sebuah lembaga publik seperti Mahkamah Agung berjalan tanpa dukungan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.

SISTEM KAMAR DALAM MAHKAMAH AGUNG : UPAYA MEMBANGUN KESATUAN HUKUM

 

Oleh : PROF.Dr.TAKDIR RAHMADI, SH., LLM
Oleh : PROF.Dr.TAKDIR RAHMADI, SH., LLM

1. Pengantar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan No. 142/KMA/SK/IX/2011 Tahun 2011, Ketua Mahkamah Agung telah memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung. Dengan sistem kamar ini hakim agung dikelompokan ke dalam lima kamar yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja.Demikian pula hakim agung kamartata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.Pada masa lalu sebelum sistem kamar berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili perkara-perkara perdata atau majelis hakim agung – lazimnya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota – yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama dapat mengadili perkara perdata. Dengan system kamar, tidak lagi diperkenankan majelis hakim agung yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang hakim agung dari lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung lain dalam kamar perdata. Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih dibolehkan mengadili perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah perkara perdata sangat besar sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata masih belum mencukupi untuk mampu mengadili perkara secara tepat waktu sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar lain, yaitu hakim agung kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan jenis perkara dalam kamar perdata. Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat ditugaskan untuk mengadili perkara dalam kamar pidana karena masih terdapat kedekatan jenis perkaranya. Bantuan tenaga untuk kamar perdata dan kamar pidana dari kamar-kamar lain yang jenis perkaranya mirip masih diperlukan karena jumlah perkara kasasi perdata dan pidana yang diajukan ke Mahkamah Agung setiap tahunnya lebih tinggi daripada kamar-kamar lainnya, sehingga jumlah tunggakan perkara dapat ditekan.